𝗠𝗘𝗟𝗔𝗧𝗜𝗛 𝗗𝗔𝗬𝗔 𝗔𝗡𝗔𝗟𝗜𝗧𝗜𝗦 𝗗𝗔𝗡 𝗘𝗠𝗢𝗦𝗜 𝗟𝗘𝗪𝗔𝗧 𝗠𝗘𝗡𝗨𝗟𝗜𝗦



Pendahuluan

Literature papuan.com – berbagi tentang “Menulis” bahwa Menulis adalah kegiatan yang lebih dari sekadar menghasilkan kata-kata di atas kertas atau layar. Proses ini melibatkan interaksi kompleks antara berbagai aspek dari diri manusia: daya analitis, emosi, dan sinkronisasi saraf motorik. Ketiga elemen ini bekerja bersama-sama dalam harmoni untuk menciptakan karya tulis yang bermakna dan mempengaruhi pembaca.

Dalam proses menulis, setidaknya, ada 3 hal dari bagian diri kita yang bekerja. Pertama, daya analitis kita. Kedua, emosi kita. Ketiga, sinkronisasi saraf motorik kita.

Daya Analitis:

Daya analitis merupakan kemampuan berpikir logis dan sistematis yang terlatih melalui menulis. Saat menulis, seseorang tidak hanya mengorganisir kata-kata secara gramatikal, tetapi juga membangun argumen yang koheren dan kohesif. Proses ini melatih untuk memahami hubungan sebab-akibat, menyusun data secara terstruktur, dan merumuskan kesimpulan yang tepat. Melalui analisis bahasa dan pengumpulan data, penulis tidak hanya mengasah keterampilan kebahasaan tetapi juga kemampuan untuk berpikir secara kritis.

Menulis melatih daya analitis kita, yaitu melatih kemampuan berpikir logis dan sistematis kita. Melatih kemampuan memahami proses keterkaitan antara satu hal dengan hal lain. Melatih untuk mampu menelaah hubungan kausalitas, hubungan logis antara sebab dan akibat.

Ada dua elemen dari tulisan yang mengasah logika berpikir kita. Yang pertama adalah Logika Bahasa. Mulai dari pemilihan diksi, sistem gramatikal (ketatabahasaan), penyusunan paragraf, hingga struktur wacana. Elemen kedua, model pengumpulan data--hal di luar teknis kebahasaan. Bagaimana data disusun, diklasifikasikan, ditautkan, sampai disimpulkan. Ini jelas, langsung atau tidak langsung, melatih daya analitis kita.

Emosi:

Menulis juga merupakan medium ekspresi emosi. Emosi tidak hanya mempengaruhi persepsi dan sikap penulis, tetapi juga memperkaya tulisannya dengan nuansa yang mendalam. Baik dalam menulis fiksi maupun nonfiksi, penulis sering kali menghadirkan berbagai macam emosi, baik positif maupun negatif. Emosi ini bisa dipicu oleh pengalaman pribadi, imajinasi, atau peristiwa eksternal. Penulis memiliki kekuasaan untuk mengontrol jarak emosional dengan karya tulisnya, menggunakan perspektif "Dia-an" untuk menjaga distansi atau "Aku-an" untuk lebih menyatu dengan perasaan yang diungkapkan.

Prof. M. Darwis Hude mengartikan emosi sebagai gejala psikofisik yang mempengaruhi persepsi, sikap, dan perilaku seseorang. Emosi dimanifestasian dalam ekspresi tertentu. Emosi, kata beliau, adalah sensasi psikologis yang memiliki hubungan langsung antara jiwa dan fisik.

Menyimpulkan dari berbagai teori kemunculannya, emosi ini memiliki 4 variabel, antara lain: Stimulus (Pemicu), Perasaan, Respons Internal, kemudian Tindakan.

Contoh, saat seseorang mendengar kabar bahwa ia diterima di kampus favoritnya (Pemicu), maka hatinya gembira (Perasaan), wajahnya cerah merekah (Respons Internal), lalu ia melonjak kegirangan (Tindakan).

Kegiatan menulis, baik fiksi maupun nonfiksi, adalah kegiatan intens menghadirkan berbagai macam emosi, positif ataupun negatif. Emosi tersebut dipicu baik oleh aspek eksternal seperti data-data referensi dari luar, maupun aspek internal, seperti pengalaman diri yang muncul, memori yang hadir, atau imajinasi yang liar.

Karena menulis merupakan kegiatan yang menempatkan penulis sebagai subjek, dan teks termasuk perasaan-perasaan di dalamnya sebagai objek, maka penulis berkekuasaan memperlakukan teks beserta perasaan-perasaan tersebut semaunya. Misal, dalam menulis fiksi, ketika si penulis memakai perspektif cerita “Dia-an”, maka ia berarti membuat jarak dengan perasaan-perasaan yang muncul di dalamnya. Si Penulis menempatkan diri sebagai “Tuhan” dalam dunia tulisan yang diciptakannya. Sebaliknya, bila Si Penulis ingin menyatu dengan perasaan-perasaan tersebut, maka Penulis bisa menggunakan perspektif “Aku-an”, karena “Aku” secara langsung ataupun tidak menjadi asosiasi dirinya.

Dari sini bisa kita simpulkan, bahwa menulis adalah kegiatan yang begitu intens dalam merangsang munculnya memori sekaligus emosi tertentu. Tinggal bagaimana sikap kita, apakah mau terasosiasi dengan emosi tersebut, atau memilih untuk berjarak, sehingga emosi tersebut hanya berfungsi sebagai objek saja.

Sinkronisasi Saraf Motorik:

Saraf motorik memainkan peran penting dalam proses menulis fisik. Ketika emosi dan ide-ide diproses dalam otak, gerakan otot-otot halus di jari-jari penulis menghasilkan coretan atau kata-kata. Ini menciptakan siklus yang berulang-ulang, di mana memori dan data menginspirasi emosi, yang kemudian ditransmisikan melalui gerakan saraf motorik untuk menciptakan tulisan.

Di atas sudah dijelaskan, bahwa begitu erat kaitan antara emosi dengan tubuh fisik. Bahkan mengacu pada 4 variabel kemunculannya, 2 variabel terakhir adalah respons internal dan tindakan. Demikian pun pada kegiatan menulis.

Menulis memunculkan memori tertentu. Memori menghadirkan emosi. Emosi menggerakkan saraf motorik otak kita untuk mentransmisikan perasaannya lewat gerak otot-otot halus di jari kita. Lalu jari kita memanifestasikannya dalam bentuk coretan atau susunan huruf demi huruf tulisan.

Tulisan tersebut kemudian memicu kembali memori atau data berikutnya. Data dan memori menghadirkan emosi. Emosi menggerakkan kembali saraf motorik otak kita, lalu ditransimisikan lewat gerak otot halus di jari dalam bentuk coretan dan susunan huruf-huruf tulisan. Begitu seterusnya.

Maka, yang terjadi adalah kerjasama antarbagian diri kita. Maka, yang terjadi adalah hubungan sinergi sekaligus sinkronisasi, yang menyebabkan terciptanya keseimbangan diri kita.

Bila setelah melakukan kegiatan menulis kita merasakan efek “plong”, merasa lepas, merasa lapang, tentu itu terjadi karena proses sinkronisasi dalam diri kita terjadi berulang-ulang. Efek ini yang oleh Aristoteles disebut sebagai 𝘬𝘢𝘵𝘩𝘢𝘳𝘴𝘪𝘴. 𝘒𝘢𝘵𝘩𝘢𝘳𝘴𝘪𝘴 berasal dari Bahasa Yunani yang berarti ‘pemurnian’ dan ‘pembersihan’.

Sinergi dan Keseimbangan:

Ketiga elemen ini — daya analitis, emosi, dan sinkronisasi saraf motorik — bekerja bersama dalam sinergi untuk menciptakan keseimbangan dalam diri penulis. Proses ini bukan hanya sekadar aktivitas kreatif, tetapi juga merupakan bentuk pembersihan diri (katharsis) seperti yang disebutkan oleh Aristoteles. Ketika penulis berhasil menyelesaikan sebuah tulisan dengan memadukan ketiga elemen ini secara harmonis, mereka sering merasakan efek pembebasan dan kepuasan.

Kesimpulan:

Melalui pelatihan intensif  dan penuangan ide di media seperti yang diajarkan dalam program The Writers dan tulisan-tulisan kami di https://www.literaturepapuan.com/, penulis dapat mengasah daya analisis, mengelola emosi dalam tulisan, dan meningkatkan sinkronisasi saraf motorik. Hal ini tidak hanya meningkatkan keterampilan menulis mereka, tetapi juga membuka jalan untuk pemahaman diri yang lebih dalam dan pencapaian katharsis yang memuaskan. Dengan demikian, menulis bukan hanya menjadi tugas, tetapi juga sebuah perjalanan yang mendalam dan bermakna bagi setiap penulis yang berkomitmen.

 

Literature papuan.com

 

 

Literature papuan.com

Selamat datang di "literature papuan.com"! Kami adalah platform edukasi yang berfokus pada pendidikan bagi generasi bangsa Papua. Dengan komitmen untuk meningkatkan literasi di Papua, kami menyediakan konten yang informatif, inspiratif, dan relevan untuk mendorong perkembangan pendidikan di daerah ini. Di "literasi papua.com", kami percaya bahwa pendidikan adalah kunci untuk menciptakan masa depan yang lebih baik bagi masyarakat Papua. Kami berkomitmen untuk memberikan akses ke pengetahuan dan informasi berkualitas melalui artikel-artikel yang menarik dan terpercaya.

Posting Komentar

berkomenterlah dengan bijaksana :

Lebih baru Lebih lama