Peran Teori Social Engineering Roscoe Pound dalam Mewujudkan Keadilan Sosial Melalui Penemuan Hukum di Indonesia dan Papua

 

Journal Teori Social Engineering Roscoe  
dalam Mewujudkan Keadilan Sosial Melalui Penemuan Hukum di Indonesia dan Papua


Literature papua.com - Perubahan sosial yang berkelanjutan tidak hanya memerlukan inovasi dalam aspek ekonomi dan politik, tetapi juga di bidang hukum. Salah satu pendekatan yang dapat mendukung tercapainya perubahan tersebut adalah teori social engineering yang dikemukakan oleh Roscoe Pound. Teori ini menekankan peran hukum sebagai alat untuk menciptakan keharmonisan sosial dan menanggapi kebutuhan-kebutuhan masyarakat. Penerapan teori ini dalam konteks Indonesia dan Papua menjadi sangat relevan, mengingat dinamika sosial yang terus berkembang dan tantangan-tantangan hukum yang masih dihadapi, terutama dalam mewujudkan keadilan sosial yang merata bagi seluruh lapisan masyarakat.


Pada kesempatan ini Literature papua.com akan berbagi Intisari dari  Journal Peran Teori Social Engineering Roscoe Pound dalam Mewujudkan Keadilan Sosial Melalui Penemuan Hukum di Indonesia dan Papua. Roscoe Pound, seorang ahli hukum terkemuka asal Amerika Serikat, mengemukakan teori "social engineering" yang memandang hukum sebagai alat untuk merekayasa masyarakat menuju kehidupan yang lebih baik. Dalam konsep ini, hukum tidak hanya dipahami sebagai sekumpulan aturan yang mengatur perilaku manusia, tetapi juga sebagai mekanisme untuk menciptakan perubahan sosial yang positif dan mewujudkan keadilan sosial.


Dalam praktik peradilan di Indonesia, hakim sering dihadapkan pada situasi di mana hukum tertulis tidak selalu memadai untuk menyelesaikan suatu perkara. Bahkan, sering kali hakim harus melakukan “rechtsvinding” (penemuan hukum) untuk melengkapi kekosongan atau kekurangan aturan hukum yang ada. Hakim tidak boleh menolak suatu perkara dengan alasan tidak adanya aturan yang jelas, tidak lengkapnya hukum, atau adanya kekaburan hukum. Oleh karena itu, inisiatif penemuan hukum menjadi penting dalam menjaga keadilan.


Penelitian hukum normatif menunjukkan bahwa teori social engineering dari Roscoe Pound menawarkan kerangka kerja yang relevan dalam sistem hukum Indonesia. Dengan menerapkan prinsip-prinsip social engineering, hukum dapat menjadi instrumen yang efektif untuk melindungi kepentingan masyarakat, menciptakan perubahan sosial yang positif, serta memastikan distribusi keadilan yang merata.

Di Indonesia, penerapan teori ini terlihat dalam berbagai regulasi yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan sosial dan mengatasi ketidakadilan. Di Papua, penerapan social engineering sangat penting untuk menghadapi tantangan sosial yang unik dan kompleks. Dengan terus mengembangkan serta menerapkan pendekatan social engineering dalam penemuan hukum, Indonesia diharapkan dapat lebih efektif dalam menciptakan masyarakat yang adil dan sejahtera.


Pendahuluan 


Roscoe Pound, seorang ahli hukum terkenal asal Amerika Serikat, mengemukakan teori "social engineering," yang menggambarkan hukum sebagai alat untuk merekayasa masyarakat menuju tatanan yang lebih baik. Dalam teori ini, hukum tidak hanya dilihat sebagai seperangkat aturan yang mengatur perilaku manusia, tetapi juga sebagai mekanisme untuk menciptakan perubahan sosial yang positif serta mewujudkan keadilan sosial. 


Indonesia, sebagai negara hukum (Rechtsstaat), menganut sistem hukum Eropa Kontinental (civil law), yang diwarisi dari pemerintahan kolonial Belanda. Dalam sistem ini, hukum tertulis menjadi sumber hukum utama, sebagaimana terlihat dalam gerakan kodifikasi yang didorong oleh aliran legisme. Aliran ini menekankan bahwa hukum identik dengan undang-undang, dan kebiasaan atau ilmu pengetahuan hukum hanya diakui sebagai hukum jika ditunjuk oleh undang-undang. Kodifikasi hukum bertujuan membatasi kebebasan hakim yang dianggap berpotensi menyebabkan kesewenang-wenangan atau tirani. 


Dalam kehidupan bermasyarakat, manusia memiliki kepentingan untuk merasa aman. Keamanan berarti kepentingan mereka terlindungi dari konflik, gangguan, dan ancaman. Norma sosial hadir sebagai panduan bagi perilaku manusia agar tidak merugikan diri sendiri maupun orang lain. Norma ini mencakup pedoman tentang perilaku yang dianjurkan, dilarang, atau diperbolehkan. 


Hukum berfungsi sebagai instrumen untuk melindungi kepentingan manusia. Agar fungsi ini terlaksana dengan baik, hukum harus dijalankan dan ditegakkan. Dalam penegakan hukum, terdapat tiga unsur penting yang harus diperhatikan, yaitu kepastian hukum, kemanfaatan, dan keadilan. Dengan memadukan teori social engineering dan pelaksanaan hukum yang efektif, hukum dapat menjadi instrumen yang tidak hanya menjaga ketertiban, tetapi juga mewujudkan masyarakat yang lebih adil dan sejahtera.


Roscoe Pound, seorang ahli hukum terkemuka asal Amerika Serikat, memperkenalkan teori social engineering yang menyatakan bahwa hukum harus berfungsi sebagai alat untuk merekayasa hubungan sosial demi mencapai tujuan tertentu dalam masyarakat. Teori ini memandang hukum tidak sekadar sebagai aturan yang kaku, tetapi sebagai mekanisme yang mampu menciptakan keseimbangan sosial dan keadilan dengan mengatur berbagai kepentingan yang ada dalam masyarakat. 


Prinsip dasar teori social engineering menurut Pound meliputi: 

1. Kepentingan Sosial: Hukum harus mengidentifikasi dan melindungi berbagai kepentingan sosial yang ada. 

2. Keseimbangan Kepentingan: Hukum harus mampu menyeimbangkan berbagai kepentingan yang bertentangan guna menciptakan harmoni sosial. 

3. Keadilan Distributif: Hukum harus mendistribusikan hak dan kewajiban secara adil di antara anggota masyarakat. 

Pada era sistem pemerintahan Monarki Absolut, hukum tertulis cenderung mendukung kekuasaan raja yang absolut. Namun, jika hukum tertulis tidak lengkap atau belum mampu menjawab permasalahan yang muncul dalam sengketa hukum, maka hakim harus mencari pelengkapnya dari sumber hukum lain. Sumber hukum ini dapat berupa peraturan perundang-undangan, kebiasaan, yurisprudensi, perjanjian internasional, hingga doktrin hukum. 

Dalam memeriksa dan memutus perkara, hakim di Indonesia sering dihadapkan pada kenyataan bahwa hukum tertulis tidak selalu memadai untuk menyelesaikan masalah yang dihadapi. Oleh karena itu, hakim harus melakukan rechtsvinding (penemuan hukum) guna menemukan aturan yang tepat. Hakim tidak diperbolehkan menolak perkara hanya karena tidak ada aturan yang jelas, tidak lengkap, atau bersifat ambigu. Proses penemuan hukum menjadi salah satu kegiatan penting yang dilakukan hakim dalam memutuskan perkara agar keadilan dapat diwujudkan. 


Dalam konteks Indonesia, teori social engineering Roscoe Pound sangat relevan untuk menciptakan hukum yang tidak hanya sekadar memenuhi ketentuan formal, tetapi juga mampu memberikan manfaat sosial yang lebih luas. Penemuan hukum yang progresif dan inovatif memungkinkan hakim serta legislator merancang hukum yang adaptif sesuai kebutuhan masyarakat. Dengan demikian, penerapan teori ini dalam penemuan hukum di Indonesia dapat menjadi fondasi yang kuat untuk mewujudkan keadilan sosial yang diidamkan. 


Berdasarkan uraian tersebut, masalah utama yang dirumuskan adalah: Bagaimanakah Peran Teori Social Engineering Roscoe Pound dalam Mewujudkan Keadilan Sosial Melalui Penemuan Hukum di Indonesia? 


Metode Penelitian 


Penelitian ini menggunakan metode penelitian hukum normatif yang berbasis pada kaidah hukum yang berlaku. Penelitian difokuskan pada kajian mengenai peran teori social engineering Roscoe Pound dalam mewujudkan keadilan sosial melalui penemuan hukum di Indonesia. 


Pendekatan Penelitian 

Penelitian ini menggunakan dua pendekatan utama: 

1. Pendekatan Peraturan Perundang-undangan (Statute Approach) 

   Pendekatan ini dilakukan dengan menelaah seluruh peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan permasalahan hukum yang diteliti. Fokusnya adalah menganalisis undang-undang yang relevan. 

2. Pendekatan Konseptual (Conceptual Approach) 

   Pendekatan ini bertolak dari pandangan dan doktrin yang berkembang dalam ilmu hukum. Pendekatan ini digunakan untuk memahami konsep-konsep hukum yang mendukung teori social engineering


Sumber Data Penelitian 

Data yang digunakan dalam penelitian hukum normatif ini adalah data sekunder yang terbagi menjadi tiga kategori: 

1. Bahan Hukum Primer 

   Bahan hukum yang berkaitan langsung dengan isu yang diteliti, termasuk peraturan perundang-undangan. 

2. Bahan Hukum Sekunder 

   Bahan yang memberikan penjelasan dan analisis atas bahan hukum primer, seperti literatur hukum dan jurnal ilmiah. 

3. Bahan Hukum Tertier 

   Bahan yang memberikan penjelasan tambahan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Hukum, serta kamus lainnya yang relevan. 

Teknik Pengumpulan Data 

Data dikumpulkan melalui studi dokumen atau studi kepustakaan dengan mengumpulkan literatur yang berkaitan dengan penelitian. Selain itu, wawancara non-struktural dapat dilakukan sebagai pendukung namun tidak menjadi alat utama untuk memperoleh data primer. 


Teknik Analisis Data 

Data dianalisis secara deskriptif kualitatif. Analisis ini tidak menggunakan angka atau statistik, melainkan penjelasan dalam bentuk kalimat yang lugas. Data yang telah dianalisis kemudian disimpulkan menggunakan metode induktif, yakni menyimpulkan dari pernyataan khusus menjadi pernyataan umum.  


Penarikan Kesimpulan 

Kesimpulan ditarik dengan logika deduktif, di mana aturan hukum yang bersifat umum diterapkan pada kasus-kasus konkret. Proses ini disebut konkritisasi hukum, yaitu penerapan nilai-nilai, asas-asas, konsep-konsep, dan norma hukum untuk menyelesaikan persoalan hukum faktual. Teori-teori yang digunakan berfungsi sebagai jembatan dalam proses penarikan kesimpulan.

 

HASIL DAN DISKUSI


1. Peran Teori Social Engineering Roscoe Pound dalam Mewujudkan Keadilan Sosial melalui Penemuan Hukum di Indonesia

Penemuan hukum di Indonesia, terutama melalui putusan pengadilan dan legislasi, dapat dilihat sebagai bentuk penerapan teori social engineering. Hakim dan legislator di Indonesia sering kali menghadapi situasi di mana mereka harus menemukan atau menciptakan hukum baru untuk mengatasi masalah-masalah sosial yang kompleks. Dalam proses ini, mereka dapat menggunakan prinsip-prinsip social engineering untuk menciptakan hukum yang tidak hanya adil secara legal, tetapi juga memberikan manfaat sosial yang lebih luas.


Teori social engineering memiliki peran penting dalam mewujudkan keadilan sosial di Indonesia.

 Beberapa kontribusi utamanya adalah:

1. Perlindungan Kelompok Rentan: 

Hukum yang dirancang berdasarkan prinsip social engineering sering kali menargetkan perlindungan bagi kelompok rentan seperti pekerja, perempuan, anak-anak, dan masyarakat adat. Regulasi yang adil ini membantu mengurangi ketidakadilan sosial dan ekonomi.

2. Keseimbangan Ekonomi: 

Hukum yang mengatur redistribusi sumber daya ekonomi membantu mengurangi kesenjangan sosial dan ekonomi. Misalnya, kebijakan fiskal yang adil dan regulasi properti yang memperhatikan kepentingan masyarakat kecil. 

3. Pemeliharaan Ketertiban Umum: 

Hukum yang menjaga ketertiban umum dan memastikan bahwa kepentingan individu tidak merugikan kepentingan masyarakat luas berkontribusi pada stabilitas sosial. Contohnya, regulasi lalu lintas dan peraturan kesehatan masyarakat yang ketat.

Dalam praktik tidak jarang dijumpai ada peristiwa yang belum diatur dalam hukum atau perundang-undangan, atau meskipun sudah diatur tetapi tidak lengkap dan tidak jelas. Memang tidak ada hukum atau perundang-undangan yang sangat lengkap atau jelas sejelas-jelasnya. 

Fungsi hukum adalah untuk melindungi kepentingan manusia dengan cara mengatur kegiatan manusia. Sedangkan kepentingan manusia sangatlah banyak dan tidak terhitung jumlah dan jenisnya. Di samping itu, kepentingan manusia akan terus berkembang sepanjang masa. Oleh karena itu, peraturan hukum yang tidak jelas harus dijelaskan, yang kurang lengkap harus dilengkapi dengan jalan menemukan hukumnya agar aturan hukumnya dapat diterapkan terhadap peristiwanya.


Dengan demikian, pada hakikatnya semua perkara membutuhkan metode penemuan hukum agar aturan hukumnya dapat diterapkan secara tepat terhadap peristiwanya, sehingga dapat diwujudkan putusan hukum yang diidam-idamkan, yaitu yang mengandung aspek keadilan, kepastian hukum, dan kemanfaatan. Pengertian penemuan hukum yang dikemukakan para ahli antara lain:


1. Menurut Paul Scholten: Penemuan hukum oleh hakim merupakan sesuatu yang lain daripada hanya penerapan peraturan-peraturan pada peristiwanya. Kadang-kadang dan bahkan sangat sering terjadi bahwa peraturannya harus ditemukan, baik dengan jalan interpretasi maupun dengan jalan analogi ataupun rechtssvervijning (pengkonkretan hukum).

2. John Z. Laudoe: Mengemukakan bahwa penemuan hukum adalah penerapan ketentuan fakta dan ketentuan tersebut kadangkala harus dibentuk karena tidak selalu terdapat dalam undang-undang yang ada.

3. Sudikno Mertokusumo: Berpendapat bahwa penemuan hukum adalah proses pembentukan hukum oleh hakim atau petugas-petugas hukum lainnya yang diberi tugas menerapkan hukum terhadap peristiwa-peristiwa hukum yang konkret. Dengan kata lain, merupakan proses konkretisasi atau individualisasi peraturan hukum (das sollen) yang bersifat umum dengan mengingat akan peristiwa konkret (das sein) tertentu. Yang penting dalam penemuan hukum adalah bagaimana mencarikan atau menemukan hukum untuk peristiwa konkret.


Ada beberapa istilah yang sering dikaitkan dengan penemuan hukum, yaitu:


1. Pembentukan Hukum (Rechtsvorming): Merumuskan peraturan-peraturan yang berlaku secara umum bagi setiap orang lazimnya dilakukan oleh pembentuk undang-undang. Hakim juga dimungkinkan sebagai pembentuk hukum (judge made law) kalau putusannya menjadi yurisprudensi tetap (vaste jurisprudence) yang diikuti oleh para hakim dan merupakan pedoman bagi kalangan hukum pada umumnya.


2. Penerapan Hukum (Rechtstoepassing): Menerapkan peraturan hukum yang abstrak sifatnya pada peristiwanya. Untuk itu peristiwa konkret harus dijadikan peristiwa hukum terlebih dahulu agar peraturan hukumnya dapat diterapkan.


3. Pelaksanaan Hukum (Rechtshandhaving): Dapat berarti menjalankan hukum baik ada sengketa atau pelanggaran maupun tanpa sengketa.


4. Penciptaan Hukum (Rechtschepping): Berarti bahwa hukumnya sama sekali tidak ada, kemudian diciptakan, yaitu dari tidak ada menjadi ada.


Pada dasarnya penemuan hukum tetap harus mendasarkan pada sistem hukum yang ada. Penemuan hukum yang semata-mata mendasarkan pada undang-undang saja disebut system-oriented. Penemuan hukum pada dasarnya harus system-oriented, tetapi apabila sistem tidak memberikan solusi maka sistem harus ditinggalkan dan menuju problem-oriented. Latar belakang timbulnya problem-oriented yaitu adanya kecenderungan masyarakat pada umumnya yang membuat undang-undang lebih umum, sehingga dengan sifat umum itu hakim mendapat kebebasan lebih.


Di negara-negara Eropa Kontinental (Civil Law) semula menganut penemuan hukum heteronom, tetapi dalam perkembangannya telah bergeser ke arah otonom. Implikasinya di Eropa cenderung mengandung unsur heteronom dan otonom. Hakim di Indonesia menganut penemuan hukum heteronom sepanjang hakim terikat pada undang-undang. Tetapi dalam penemuan hukum itu juga mempunyai unsur otonom yang kuat, karena hakim sering kali harus menjelaskan atau melengkapi undang-undang menurut pandangannya sendiri.


Dalam sistem peradilan Indonesia, seorang hakim di Pengadilan Negeri dapat merujuk pada putusan hakim yang lebih tinggi, seperti Pengadilan Tinggi (PT) atau Mahkamah Agung (MA). Namun, secara prinsip, hakim tidak terikat pada putusan hakim lain karena asas otonomi tetap berlaku. Mengacu pada putusan hakim lain bukan berarti mengikuti asas The Binding Force of Precedent sebagaimana yang berlaku di negara Anglo-Saxon, melainkan didasarkan pada keyakinan bahwa putusan tersebut benar (The Persuasive Force of Precedent).


Dalam penemuan hukum, beberapa sumber utama yang digunakan adalah peraturan perundang-undangan (hukum tertulis), hukum kebiasaan (tidak tertulis), yurisprudensi, perjanjian internasional, dan doktrin (pendapat ahli hukum). Salah satu ciri khas sistem hukum Eropa Kontinental (civil law) adalah penggunaan aturan yang tertulis dan terkodifikasi sebagai sumber hukum. Hakim dalam sistem ini bersifat pasif dan hanya menerjemahkan aturan hukum ketika terjadi sengketa, kemudian menetapkannya dalam putusan yang mengikat pihak bersengketa.


Meskipun Indonesia termasuk dalam sistem hukum Eropa Kontinental yang mengutamakan hukum tertulis, kenyataannya terdapat pluralisme sistem hukum yang terkadang tidak terpadu dan konsisten. Berbagai sistem hukum yang ada tidak dapat dihilangkan begitu saja karena telah menjadi bagian dari peraturan perundang-undangan di Indonesia.


Pada masa awal sekitar tahun 1800 SM, hukum kebiasaan memainkan peranan besar. Norma yang berlaku saat itu bersifat sederhana dan dekat dengan kehidupan sehari-hari tanpa ada bentuk formal yang tertulis. Berdasarkan Pasal 28 Ayat (1) Undang-Undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, hakim diwajibkan menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Oleh karena itu, dalam kondisi tertentu, hukum kebiasaan dapat mengalahkan undang-undang yang bersifat pelengkap.


Beberapa contoh yurisprudensi menunjukkan dinamika dalam peradilan: 


1. Semula janda hanya berhak menerima warisan, tetapi kemudian statusnya berubah menjadi ahli waris (Yurisprudensi MA, 13 April 1960). 


2. Konsep beli sewa yang tidak diatur dalam undang-undang ditemukan dalam putusan kasasi Mahkamah Agung, 18 Desember 1957. 


3. Fidusia yang semula dianggap tidak sah berdasarkan Pasal 1152 KUH Perdata kemudian diakui berdasarkan yurisprudensi Hooge Raad, 25 Januari 1929.


Dalam sejarahnya, hakim memiliki dua peran utama: 

1. Membuktikan keberadaan suatu fakta yang dikualifikasikan sebagai delik perdata atau pidana sesuai norma yang berlaku. 


2. Menjatuhkan sanksi konkret sesuai norma yang diterapkan. 


Menurut van Apeldoorn, peran hakim dapat dibagi dalam tiga periode: masa legisme (abad ke-19), masa ajaran hukum bebas, dan masa kontemporer. Pada masa legisme, hakim hanya berperan sebagai corong undang-undang yang menerapkan peraturan secara logikal tanpa mempertimbangkan aspek lain di luar aturan hukum.


Pada masa legalisme ini, hakim tidak mempersoalkan motif tindakan, seperti apakah seseorang melakukan pencurian karena lapar atau alasan lain. Oleh karena itu, pada masa ini, hakim memiliki tugas sebagai subsumptie-automaat, yaitu tugasnya hanya mencocokkan (subsumptie) tindakan dengan peraturan perundang-undangan yang ada.


Peranan hakim dalam ajaran hukum bebas, atau ajaran menemukan hukum dengan bebas, merupakan penolakan terhadap pandangan legisme yang berkembang pada abad ke-19. Ajaran hukum bebas ini menyatakan bahwa tidak semua hukum dapat ditemukan dalam undang-undang, dan bahwa di luar undang-undang terdapat sumber-sumber hukum lain yang dapat digunakan oleh hakim sebagai dasar putusan. Mengenai asal-usul hukum bebas, ajaran ini terbagi menjadi dua aliran:


1. Aliran hukum sosiologis: Aliran ini dipelopori oleh Hamaker dan berpendapat bahwa hukum bebas berasal dari adat istiadat, kebiasaan dalam masyarakat yang lebih bersifat empiris.

2. Aliran hukum kodrat: Mengarah kepada hal-hal yang bersifat kontemplatif dalam ruang perenungan hukum.


Namun, aliran-aliran yang berkembang selanjutnya semakin radikal, bahkan ada yang berusaha menghapus undang-undang sebagai satu-satunya sumber hukum dan memandang hukum bebas sebagai pelengkap untuk menutupi kekosongan hukum. Hukum bebas ini dapat mengecualikan peraturan tertulis dan melakukan koreksi apabila ditemukan pertentangan dengan hukum. Meskipun demikian, pandangan ini dianggap dapat menghilangkan kepastian hukum, yang kemudian memicu penolakan terhadap paham ini.


Teori aliran sosiologis menjelaskan bahwa hukum adalah kenyataan yang berkembang dalam masyarakat, dan bagaimana hukum diterima, tumbuh, serta berlaku dalam masyarakat. Teori ini dipelopori oleh Roscoe Pound, Eugen Ehrlich, Emil Durkheim, dan Max Weber. Max Weber, seorang pakar hukum dan tokoh utama dalam sosiologi modern, menganggap hukum sebagai aspek penting yang mendominasi masyarakat. Menurut Weber, ada empat tipe ideal hukum:


1. Hukum irrasional dan materiil, di mana pembentukan undang-undang dan keputusan hakim didasarkan pada nilai-nilai emosional tanpa merujuk pada kaedah apa pun.

2. Hukum irrasional dan formil, di mana pembentuk undang-undang dan hakim mengikuti kaedah di luar akal, berdasarkan wahyu dan ramalan.

3. Hukum rasional dan materiil, di mana keputusan pembentuk undang-undang dan hakim merujuk pada kitab suci, kebijaksanaan penguasa, atau ideologi.

4. Hukum rasional dan formil, di mana hukum dibentuk berdasarkan konsep abstrak ilmu hukum.


Teori hukum sosiologis ini mengedepankan bahwa hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat. Gerakan aliran realis dalam ilmu hukum, yang muncul di Amerika Serikat dan Skandinavia, berfokus pada konsepsi radikal mengenai proses peradilan. Aliran realis berpendapat bahwa hukum yang dibuat oleh hakim lebih layak disebut sebagai pembuatan hukum daripada penemuan hukum. Aliran ini menekankan pentingnya hakikat manusia dalam pelaksanaan hukum.


Pencetus aliran realis dari Amerika Serikat antara lain Karl Llewellyn, Jerome Frank, dan Hakim Agung Amerika Serikat, Oliver Wendell Holmes. Ajaran realisme hukum dari Holmes dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Perkembangan ilmu hukum bergantung pada pengujian fakta.

2. Kehidupan hukum didasarkan pada pengalaman, bukan logika.

3. Hukum dipandang sebagai ramalan, dan ramalan itu lebih penting daripada hal lain.


Roscoe Pound, seorang pemikir hukum terkemuka, memperkenalkan aliran sociological jurisprudence dan pragmatic legal realism. Pound dikenal karena kecenderungannya untuk mengklasifikasikan bahan-bahan hukum dan menggunakan teori-teori hukum lain untuk menjelaskan fungsi hukum sebagai alat untuk melindungi kepentingan.

Hal ini dapat dipahami karena latar belakang Roscoe Pound sebagai sarjana biologi, sehingga sebagian pakar menjuluki Pound sebagai figur yang telah melakukan "botanisasi hukum" (botanized her). Selain itu, Pound juga banyak menggunakan teori-teori pemikir hukum lainnya, di antaranya dari Rudolf Von Jhering (1818–1892), khususnya terkait dengan fungsi hukum sebagai sarana untuk melindungi kepentingan. Sehubungan dengan hal ini, Lloyd mengemukakan pendapat berikut: "Menurut Pound, hukum harus mewujudkan dan melindungi enam kepentingan sosial: keamanan bersama, institusi sosial (seperti keluarga, agama, dan hak politik), rasa moralitas, barang sosial, serta kemajuan ekonomi, budaya, dan politik, serta perlindungan terhadap kehidupan individu. Kepentingan sosial terakhir ini dianggap oleh Pound sebagai yang paling penting. Untuk mewujudkan tujuan-tujuan tersebut, Pound berpendapat, perlu dikembangkan jurisprudensi sosiologis yang baru."


Pound membedakan antara sociological jurisprudence dan sociology of law. Istilah pertama merujuk pada hal-hal yang bersifat praktis, yaitu terkait dengan bagaimana hukum itu dilaksanakan, sedangkan istilah kedua berhubungan dengan masalah-masalah teoretis. Pound mengubah hukum dari tataran teoretis (law in book) menjadi hukum dalam kenyataan (law in action). Oleh karena itu, sebagai pendukung aliran pragmatic legal realism, Pound juga menyatakan bahwa hukum yang sebenarnya adalah hukum yang dijalankan. Hukum bukan hanya yang tertulis dalam undang-undang, melainkan apa yang dilakukan oleh aparat penyelenggara hukum atau siapa saja yang melaksanakan fungsi pelaksanaan hukum dengan konsep hukumnya. Hukum dapat berperan sebagai sarana perubahan masyarakat (law as a tool of social engineering). Pemikiran Pound mulai dikenal, bahkan terkenal, di Indonesia setelah salah satu tokoh pemikir hukum Indonesia yang juga Guru Besar Fakultas Hukum Unpad, Mochtar Kusumaatmadja, memperkenalkan pemikirannya mengenai pembangunan hukum di Indonesia pada tahun 1970-an.


Roscoe Pound berpendapat bahwa hukum harus dipandang sebagai suatu lembaga masyarakat yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan sosial, dan tugas ilmu hukum adalah mengembangkan suatu kerangka untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan sosial tersebut secara maksimal. Pound juga menganjurkan untuk mempelajari hukum sebagai suatu proses (law in action), yang dibedakan dengan hukum yang tertulis (law in the books). Pembedaan ini dapat diterapkan pada seluruh bidang hukum, baik hukum substantif maupun hukum objektif. Ajaran ini menonjolkan masalah apakah hukum yang ditetapkan sesuai dengan pola-pola perilaku.


Sosiologi hukum sebagai cabang sosiologi mempelajari pengaruh masyarakat terhadap hukum dan sejauh mana gejala-gejala yang ada dalam masyarakat dapat mempengaruhi hukum, serta sebaliknya, pengaruh hukum terhadap masyarakat. Roscoe Pound menganggap hukum sebagai alat rekayasa sosial (law as a tool of social engineering and social control) yang bertujuan menciptakan harmoni dan keserasian agar kebutuhan dan kepentingan manusia dalam masyarakat dapat dipenuhi secara optimal. Keadilan adalah lambang usaha penyerasian yang harmonis dan tidak memihak dalam mengupayakan kepentingan anggota masyarakat yang bersangkutan. Untuk kepentingan ideal ini, diperlukan kekuatan paksa yang dilakukan oleh penguasa negara.


Teori social engineering Roscoe Pound menawarkan kerangka kerja yang berguna untuk memahami dan meningkatkan peran hukum dalam mewujudkan keadilan sosial di Indonesia. Melalui penerapan prinsip-prinsip social engineering, hukum dapat berfungsi sebagai alat untuk menciptakan perubahan sosial yang positif, melindungi kepentingan masyarakat, dan memastikan distribusi keadilan yang merata. Dalam konteks Indonesia, penerapan teori ini telah terlihat dalam berbagai regulasi yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan sosial dan mengatasi ketidakadilan. Dengan terus mengembangkan dan menerapkan teori social engineering dalam penemuan hukum, Indonesia dapat lebih efektif dalam menghadapi tantangan sosial dan mewujudkan masyarakat yang lebih adil dan sejahtera.


Aliran realisme teori hukum terhadap penemuan hukum di Indonesia muncul karena seiring perkembangan zaman, pemikiran hakim terhadap perubahan hukum diperlukan agar tidak terjadi kekosongan hukum. Realis bukanlah suatu aliran atau mazhab, melainkan suatu gerakan dalam cara berpikir dan bekerja mengenai hukum.


a. Realis adalah suatu konsepsi mengenai hukum yang berubah-ubah dan sebagai alat untuk mencapai tujuan sosial, maka tiap bagiannya harus diselidiki mengenai tujuan maupun hasilnya. Hal ini berarti bahwa keadaan sosial lebih cepat mengalami perubahan daripada hukum.


b. Realis mendasarkan ajarannya atas pemisahan sementara antara sollen dan sein untuk keperluan suatu penyelidikan. Agar penyelidikan itu memiliki tujuan, maka harus diperhatikan adanya nilai-nilai, dan observasi terhadap nilai-nilai itu haruslah seumum mungkin dan tidak boleh dipengaruhi oleh kehendak pengamat maupun tujuan-tujuan kesusilaan. 


c. Realis tidak mendasarkan pada konsep-konsep hukum tradisional karena realisme bermaksud melukiskan apa yang dilakukan sebenarnya oleh pengadilan-pengadilan dan orang-orangnya. Untuk itu dirumuskan definisi-definisi dalam peraturan-peraturan yang merupakan ramalan umum tentang apa yang akan dikerjakan oleh pengadilan. Sesuai dengan keyakinan ini, maka realisme menciptakan penggolongan-penggolongan perkara dan keadaan-keadaan hukum yang lebih kecil jumlahnya daripada jumlah penggolongan-penggolongan yang ada pada masa lampau.


d. Gerakan realisme menekankan bahwa pada perkembangan setiap bagian hukum, harus diperhatikan dengan seksama akibatnya.


Melalui pemikiran John Chipman Gray dan Oliver Wendell Holmes, yang merupakan eksponen dari gerakan realis ini, dasar pemikiran hukum yang menjadi inti ajarannya menjadi lebih jelas. Kedua tokoh ini, meskipun juga penganut paham positivisme hukum, tidak menempatkan undang-undang sebagai sumber utama hukum. 

Mereka menempatkan hakim sebagai titik pusat perhatian dan penyelidikan hukum. Selain unsur logika yang memegang faktor penting dalam pembentukan perundang-undangan, juga unsur kepribadian, prasangka, dan unsur-unsur lain di luar logika memiliki pengaruh besar. Gray membuktikan teorinya dengan mengemukakan contoh dari sejarah hukum di Inggris dan Amerika Serikat yang menunjukkan besarnya pengaruh faktor-faktor politik, ekonomi, dan kualitas individu hakim terhadap penyelesaian hal-hal penting bagi jutaan orang selama ratusan tahun. Slogan terkenal dari John Chipman Gray adalah: "Sumber hukum utama adalah putusan-putusan hakim" (All the law is judge-made law).


KESIMPULAN


Kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian ini adalah bahwa teori Social Engineering Roscoe Pound menawarkan kerangka kerja yang berguna untuk memahami dan meningkatkan peran hukum dalam mewujudkan keadilan sosial di Indonesia. Melalui penerapan prinsip-prinsip social engineering, hukum dapat berfungsi sebagai alat untuk menciptakan perubahan sosial yang positif, melindungi kepentingan masyarakat, dan memastikan distribusi keadilan yang merata. Dalam konteks Indonesia, penerapan teori ini telah terlihat dalam berbagai regulasi yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan sosial dan mengatasi ketidakadilan. Dengan terus mengembangkan dan menerapkan teori social engineering dalam penemuan hukum, Indonesia dapat lebih efektif dalam menghadapi tantangan sosial dan mewujudkan masyarakat yang lebih adil dan sejahtera.


Dalam kaitannya dengan Indonesia, penerapan teori Social Engineering Roscoe Pound dapat menjadi alat yang efektif untuk menciptakan perubahan sosial yang berkelanjutan dan memastikan distribusi keadilan yang merata, terutama di tengah tantangan sosial yang dihadapi oleh negara. Hukum tidak hanya dilihat sebagai teks yang tertulis dalam undang-undang, tetapi juga sebagai instrumen yang mampu menjawab kebutuhan masyarakat dan menciptakan harmoni sosial yang adil.


Untuk wilayah Papua, penerapan prinsip social engineering ini sangat relevan, mengingat keberagaman sosial, budaya, dan tantangan yang ada. Hukum dapat berperan sebagai alat untuk menanggulangi ketidakadilan dan memastikan bahwa masyarakat Papua memperoleh akses yang setara terhadap kesejahteraan dan keadilan. Dalam hal ini, penting bagi para pembuat kebijakan dan aparat hukum di Papua untuk senantiasa mengembangkan pendekatan yang sensitif terhadap kondisi lokal, tanpa mengabaikan kebutuhan untuk menciptakan sistem hukum yang inklusif dan responsif terhadap perubahan.


Melalui penerapan prinsip-prinsip social engineering yang tepat, diharapkan Indonesia, termasuk Papua, dapat menciptakan sistem hukum yang tidak hanya memenuhi kebutuhan sosial, tetapi juga memberikan keadilan bagi seluruh rakyatnya, sehingga terwujud masyarakat yang lebih adil, sejahtera, dan harmonis.

 

REFERENSI


1. Arrasjid Chainur. 2006. Dasar-Dasar Ilmu Hukum. Jakarta: Sinar Grafika.

2. Bagir Manan. 1992. Dasar-Dasar Ilmu Perundang-Undangan Indonesia. Jakarta: In-Hill Co.

3. Bambang Sutiyoso. 2006. Metode Penemuan Hukum. Yogyakarta: UII Press.

4. Jimly Assiddiqie. 2005. Aspek-Aspek Kekuasaan Kehakiman di Indonesia. Yogyakarta: UII Press.

5. Satjipto Rahardjo. 2007. Membedah Hukum Progresif. Jakarta: Kompas.

6. Sudikno Mertokusumo. 2008. Mengenal Hukum Suatu Pengantar. Yogyakarta: Liberty.

7. Sudikno Mertokusumo. 1996. Penemuan Hukum Sebuah Pengantar. Yogyakarta: Liberty.

8. Undang-undang No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.




Literature papuan.com

Selamat datang di "literature papuan.com"! Kami adalah platform edukasi yang berfokus pada pendidikan bagi generasi bangsa Papua. Dengan komitmen untuk meningkatkan literasi di Papua, kami menyediakan konten yang informatif, inspiratif, dan relevan untuk mendorong perkembangan pendidikan di daerah ini. Di "literasi papua.com", kami percaya bahwa pendidikan adalah kunci untuk menciptakan masa depan yang lebih baik bagi masyarakat Papua. Kami berkomitmen untuk memberikan akses ke pengetahuan dan informasi berkualitas melalui artikel-artikel yang menarik dan terpercaya.

Posting Komentar

berkomenterlah dengan bijaksana :

Lebih baru Lebih lama